Peluang Masih Ada
Yang paling disayangkan, kisah-kisah seperti itu malah ‘membunuh’ motivasi sebagian orang dewasa yang merasa masih biasa-biasa saja dan tak memiliki kemampuan istimewa. Timbul rasa pesimis dibenaknya, “Masa kecilku tak sehebat mereka, masa mudaku tak sebrilian mereka, kini aku sudah tua, tak mungkin lagi bisa hebat seperti mereka.”
Motto salah alamat pun sering dijadikan alasan. “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di usia dewasa bagai mengukir di atas air.” Ia pun merasa sia-sia untuk belajar. Sesekali mendendangkan motto, “Barangsiapa tidak menanam benih (di usia muda) tak akan menuai hasil panen (di usia tua)”. Kemudian ia merasa sudah tua dan terlambat untuk mencoba. Mengapa kita tidak ambil motto lain yang lebih cocok dengan usia kita dan lebih memotivasi diri. Seperti perkataan Ahnaf bin Qais untuk mengimbangi motto yang pertama, “Wal kabiiru aktsaru ‘aqlan”, tetapi orang tua lebih banyak akal. Orang dewasa memiliki kreativitas untuk mengembangkan potensi. Mereka punya banyak cara yang bisa dicoba, tidak sebagaimana anak kecil yang hanya bisa berbuat sesuai dengan apa yang dicontohkan kepadanya.
Kenapa pula kita tidak menggunakan motto, “Jangan katakan kesempatan telah berlalu, karena siapa berusaha niscaya sampailah ia ke tempat yang dituju.” Bukankah seandainya kiamat tinggal sehari, lalu di tangan kita ada biji tanaman yang siap kita tanam, kita diperintahkan untuk menanamnya? Ini menunjukkan bahwa setiap kebaikan yang kita usahakan tidaklah sia-sia.
Sejarah juga tidak hanya menyajikan sosok-sosok yang istimewa sedari kanak-kanak. Ada yang biasa-biasa saja seperti Malik bin Dinar, setelah putrinya meninggal ia bertaubat sekaligus memulai belajar agama di usia dewasa. Bahkan ulama kenamaan di zaman tabi’in Fudhail bin ‘Iyadh lebih gelap lagi latar belakangnya. Dahulunya ia seorang perampok. Setelah bertaubat dan belajar akhirnya menjadi ulama besar.
Dari zaman ke zaman, selalu ada contoh-contoh yang mewakili sebagai orang-orang biasa, namun menjadi luar biasa karena kesungguhannya yang luar biasa. Seperti yang dilakukan oleh seorang warga Saudi bernama Malik Muhammad Abdul Malik. Meski sudah lebih dari 60 tahun usianya dan mata pencahariannya sebagai seorang sopir, tak menghalangi dirinya untuk mengikuti halaqoh tahfizh Al-Qur’an. Hingga akhirnya beliau mampu menyelesaikan hafalan 30 juz selama 15 tahun.
Motivasi yang beliau pegang adalah, “Jika tekad sudah bulat, maka yang susah akan terasa mudah.”
Muna Sa’id al-Ulaiwah dalam bukunya Qishshati fi hifzhil Qur’an mengisahkan ada kakek tua berumur 80 tahun mendatangi salah seorang ustadz di Masjid Nabawi dan berkata, “Saya ingin menghafal Al-Qur’an, tolong ajari saya.” Ustadz menjawab, “Wahai Bapak, umur Anda sudah tua, duduk saja bersama kami untuk mendengarkan.” Tapi dia tetap bersikukuh pada pendiriannya, “Tapi saya ingin menghafal.” Sang guru menyuruhnya membaca Al-Qur’an, tapi ia berkata, “Saya belum lancar membacanya, tolong ajari saya dari awal.” Tapi, siapa sangka lima tahun kemudian sang kakek telah hafal 30 juz, Allah tidak menyia-nyiakan usaha hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.
Bagi sebagian kita yang merasa sibuk dengan urusan ma’isyah (pencaharian), ada baiknya menyimak kisah yang disebutkan Muna al-Ulawiah di buku tersebut. Yakni tentang sopir yang senantiasa menyempatkan diri untuk menghafal Al-Qur’an saat menanti pergantian lampu merah di persimpangan jalan. Ia bekerja sebagai sopir. Ia sengaja menyimpan musshaf di mobilnya, saat lampu merah menyala, ia sempatkan untuk membuka musshaf dan menghafalkan satu-dua baris dari ayat-ayat Al-Qur’an. Dia memberikan kesaksian tentang dirinya. “Aku hafal surat Al-Baqarah sepenuhnya di jalan saat menanti lampu merah.” Sangat berbeda dengan kebiasaan orang yang hanya melihat mobil di sekitarnya atau bahkan menggerutu dan mengungkapkan kekesalannya.
Jangan Berkata “Sulit!”
DR.Abdullah Mulhim menegaskan, “Seseorang bisa mewujudkan mimpi-mimpinya dengan cara mengubah pola pikirnya.” Ketika seseorang mengubah persepsi susah, sulit, sukar, mustahil diganti dengan mudah dan mungkin, ini sangat membantu seseorang untuk mewujudkan cita-citanya. Begitupun sebaliknya.
Masih di buku yang sama, Muna al-Ulaiwah mengisahkan seorang bapak yang memiliki anak yang sedang menghafalkan Al-Qur’an. Bapak itu bercerita, “Saya memiliki anak yang masih kecil, hafalannya sangat bagus. Setiap hari ia menghafal dan menyetorkan hafalannya kepada ustadznya satu setengah halaman dengan lancar. Dengan cara ini, ia telah hafal juz Amma, juz 29 dan juz 28. Saat hendak memulai juz ke-27, ia bertanya kepadaku, “Ayah, apakah saya memulai dari depan atau belakang?”. “Dari belakang saja, nak.” Kataku. Ia bertanya, “Kenapa dari belakang?”. Ku katakan, “Karena surat Al-Hadid itu sulit.”
Sang anak pun menurut, seperti biasanya ia mampu melalui surat demi surat dengan mudah. Namun, tatkala smapai pada Surat Al-Hadid, ia merasa kesulitan untuk menghafalnya, hingga butuh waktu selama satu setengah bulan untuk menghafalnya. Kenapa bisa sesulit itu? Karena telah ter-install di pikirannya bahwa menghafal Surat Al-Hadid itu sulit. Maka persepsi itu snagat mempengaruhi kemampuan seseorang. Begitupun dengan orang yang sudah dewasa, ketika telah terpatri dibenaknya bahwa menghafal itu sulit, maka kesulitan akan dialaminya.
Singkat kata, orang yang optimis, satu tekad saja sudah cukup baginya untuk menepis seribu halangan. Berbeda dengan orang yang pesimis, seribu alasan akan diungkapkan untuk menghindari satu tantangan. Pilihan selanjutnya terserah kita. Wallahu a’lam…,sumber